Sejarah Bedug
Senin, 25 Agustus 2014
Add Comment
Hampir di seluruh wilayah
Nusantara, seruan ketika waktu sholat tiba selalu dibuka dengan suara bedug.
Kemudian barulah azan berkumandang. Bahkan, suara bedug sangat populer di bulan
Ramadhan. Iya, kan? Ngaku, deh.
Akhirnya, bedug pun jadi identik
dengan agama islam. Pertanyaanya, sejak kapan dan bagaimana bedug hadir di
tengah-tengah masyarakat Indonesia? Apakah seiring dengan perubahan kendaraan
religius dalam sejarah, ketika kerajaan-kerajaan Hindu-Budha runtuh berganti
dengan masuknya islam?
Beberapa literatur meyakini bedug
tiba di bumi Nusantara seiring kedatangan Cheng Ho. Laksamana muslim Kaisar
Ming itu menginginkan suara bedug di masjid-masjid, seperti halnya penggunaan
alat serupa di kuil-kuil Budha di Cina.
Namun, menurut studi M. Dwi
Cahyono, arkeolog dari Universitas Negeri Malang, bedug terkait dengan masa
prasejarah Indonesia di mana nenek moyang kita sudah mengenal nekara dan moko,
sejenis genderang dari perunggu yang dipakai dalam minta hujan.
Kata Bedug juga sudah disinggung
dalam Kidung Malat, sebuah karya sastra dari abad ke 14-16 Masehi. Dalam Kidung
Malat dijelaskan bahwa bedug dibedakan antara bedug besar (teg-teg) dengan
bedug ukuran biasa. Bedug pada masa itu berfungsi sebagai alat komunikasi dan
penanda adanya perang, bencana alam atau hal mendesak lainnya. Dibunyikan pula
untuk menandai tibanya waktu. Maka ada istilah Jawa yang mengatakan, “Wis wanci
keteg.” (sudah waktu siang). Kata ”keteg” diambil dari saat teg-teg dibunyikan.
Kendati demikian, pengaruh Cina
tidak lantas dikesampingkan. Ditilik dari sisi konstruksi, teknik pemasangan
tali dan pasak untuk merekatkan selaput getar ke resonator pada bedug Jawa
mirip dengan cara yang digunakan pada bedug di Asia Timur, seperti Jepang, Cina
atau Korea.
Bukti lain terlihat pada
penampilan arca terakota yang ditemukan di situs Trowulan. Arca-arca prajurit
berwajah Mongoloid itu tampak menabuh tabang-tabang, sejenis genderang yang
terpengaruh budaya Timur Tengah.
Bedug di Purworejo yang diklaim
terbesar di Indonesia, bahkan dunia
Kemungkinan itulah instrumen
musik yang dimainkan orang-orang Cina Muslim di ibukota Majapahit. Menariknya,
tabang-tabang sebenarnya merupakan instrumen musik yang sudah ada sejak masa
Hindu-Budha. Di dalamnya ada pengaruh budaya India dan Semit Islam. Namun,
diperkenalkan dan dimainkan oleh masyarakat Cina Muslim.
Kesimpulannya, bedug bisa
dikatakan contoh perwujudan akulturasi budaya waditra (instrumen musik
membrafon) di mana secara fisiografis terjadi perpaduan antara waditra
membrafon etnik Nusantara dengan wadistra sejenis dari luar, seperti India,
Cina, dan Timur Tengah.
Bedug akhirnya mem-budaya
Cornelis De Houtman dalam catatan
perjalanannya “D’eerste Boek” menjadi saksi atas keberadaan bedug yang sudah
meluas pada abad ke-16. Ketika tiba di Banten, ia menggambarkan bahwa di setiap
perempatan jalan terdapat genderang yang digantung dan dibunyikan memakai
tongkat pemukul yang ditempatkan di sebelahnya. Fungsinya sebagai tanda bahaya
dan penanda waktu. Kesaksian ini jelas merujuk pada bedug.
Muktamar NU ke-11 tahun 1936 di
Banjarmasin kembali mengukuhkan penggunaan bedug dan kentongan, bahwa pemakaian
kedua alat tersebut di masjid-masjid sangat diperlukan untuk memperbesar syiar
Islam.
Sumber : http://www.apakabardunia.com/2014/02/bagaimana-asal-usul-bedug.html
0 Response to "Sejarah Bedug"
Posting Komentar