Sejarah Asal Mula Peci di Indonesia
Jumat, 15 Agustus 2014
Add Comment
Peci, penutup kepala yang lazim
dipakai saat sholat, silaturahmi lebaran, atau kegiatan keagamaan lainnya
memiliki berbagai sisi cerita menarik. Walau mungkin susah ditelusuri data
faktual sejarahnya - maklum, nenek moyang kita terbiasa dengan tradisi lisan -
setidaknya ada gambaran sedikit yang membuat kita mengerti hal-ihwal peci di
tanah air.
Bentuk peci yang khas sepintas
mirip torbus (atau turban) dari Turki meyakinkan peneliti soal garis budaya
dari negara-negara penyebar Islam dan termasuk India meluaskan pengaruh hingga
ke Asia Tenggara. Kalau kita akrab dengan sebutan "peci" maka di Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan
selatan Thailand menyebutnya "songkok".
Menurut Rozan Yunos dalam
"The Origin of the Songkok or Kopiah" dalam The Brunei Times, 23
September 2007, songkok diperkenalkan para pedagang Arab, yang juga menyebarkan
agama Islam. Pada saat yang sama, dikenal pula serban atau turban. Namun,
serban dipakai oleh para cendekiawan Islam atau ulama, bukan orang biasa.
"Menurut para ahli, songkok
menjadi pemandangan umum di Kepulauan Malaya sekitar abad ke-13, saat Islam
mulai mengakar," tulis Rozan.
Lucunya, orang-orang arab yang
dipandang sebagai penyebar peci atau songkok di tanah melayu malah meninggalkan
tradisi itu. Sehingga pengamat sejarah berspekulasi soal keberadaan peci
Indonesia.
Di beberapa negara Islam, sesuatu
yang mirip songkok tetap populer. Di Turki, ada fez dan di Mesir disebut
tarboosh. Fez berasal dari Yunani Kuno dan diadopsi oleh Turki Ottoman. Di
Istanbul sendiri, topi fez ini juga dikenal dengan nama fezzi.
Paling mendekati adalah fezzi,
yang pelafalannya "pechi" mirip dengan peci di Indonesia
Di Asia Selatan (India, Pakistan,
dan Bangladesh) fez dikenal sebagai Roman Cap (Topi Romawi) atau Rumi Cap (Topi
Rumi). Ini menjadi simbol identitas Islam dan menunjukkan dukungan Muslim India
atas kekhalifahan yang dipimpin Kekaisaran Ottoman.
Namun bentuk peci agak berbeda.
Pada bagian atas peci memilik lipatan jahitan lebih kaku dibanding penutup
kepala dari negara-negara arab. Karenanya, ada yang menyebut bahwa peci hasil
modifikasi blangkon Jawa dengan surban Arab.
Konon, peci merupakan rintisan
dari Sunan Kalijaga. Pada mulanya beliau membuat mahkota khusus untuk Sultan
Fatah yang diberi nama kuluk yang memiliki bantuk lebih sederhana daripada
mahkota ayahnya, Raja terakhir Majapahit Brawijaya V.
Kuluk ini mirip kopiah, hanya
ukurannya lebih besar. Hal itu agar sesuai ajaran Islam yang egaliter. Raja dan
rakyat sama kedudukannya di hadapan Allah SWT. Hanya ketakwaan yang membedakan.
Sempilan: Ada pula yang berpendapat Laksmana Ceng Ho
yang membawa peci ke Indonesia. PECI berasal dari kata PE (artinya delapan) dan
CHI (artinya energi), sehingga arti peci itu sendiri merupakan alat untuk
penutup bagian tubuh yang bisa memancarkan energinya ke delapan penjuru angin.
Lalu SONGKOK yang berarti KOSONG
DARI MANGKOK. Artinya, hidup ini seperti mangkok yang kosong. Harus diisi
dengan ILMU dan BERKAH . Sementara kata KOPIAH berasal dari KOSONG KARENA DI
PYAH. Maknanya: kosong karena dibuang
(di pyah). Apa yang dibuang? Kebodohan dan rasa iri hati serta dengki yang
merupakan penyakit bawaan syaitan.
Keabsahan kisah di atas masih
perlu dipertanyakan tentunya. Yang jelas, peci merupakan pemandangan umum di
tanah melayu sejak abad 13. Saat Raja Ternate Zainal Abidin (1486-1500) belajar
agama Islam di madrasah Giri, ia membawa oleh-oleh peci saat pulang ke kampung
halaman.
Jean Gelman Taylor, yang meneliti
interaksi antara kostum Jawa dan kostum Belanda periode 1800-1940, menemukan
bahwa sejak pertengahan abad ke-19, pengaruh itu tercermin dalam pengadopsian
bagian-bagian tertentu pakaian Barat. Pria-pria Jawa yang dekat dengan orang
Belanda mulai memakai pakaian gaya Barat. Menariknya, blangkon atau peci tak
pernah lepas dari kepala mereka.
Peci memang khas umat Islam, tapi
patut diingat peci juga ikon nasional. Siapa pun berhak memakai peci sebagai
lambang identitas Indonesia. Inilah yang digagas oleh Soekarno, sang Founding
Father negeri ini.
Dalam buku Bung Karno Penyambung
Lidah Rakyat Indonesia, sang penulis Cindy Adams menuturkan kisahnya begini...
Pemuda itu masih berusia 20 tahun.
Dia tegang. Perutnya mulas. Di belakang tukang sate, dia mengamati
kawan-kawannya, yang menurutnya banyak lagak, tak mau pakai tutup kepala karena
ingin seperti orang Barat.
Dia harus menampakkan diri dalam
rapat Jong Java itu, di Surabaya, Juni 1921. Tapi dia masih ragu. Dia berdebat
dengan dirinya sendiri. "Apakah engkau seorang pengekor atau
pemimpin?" "Aku seorang pemimpin." "Kalau begitu,
buktikanlah," batinnya lagi. "Majulah. Pakai pecimu. Tarik nafas yang
dalam! Dan masuklah ke ruang rapat… Sekarang!"
Setiap orang ternganga melihatnya
tanpa bicara. Mereka, kaum intelegensia, membenci pemakaian blangkon, sarung,
dan peci karena dianggap cara berpakaian kaum lebih rendah.
Dia pun memecah kesunyian dengan
berbicara: "…Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia.
Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa
Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala
kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka." Itulah awal
mula Sukarno mempopulerkan pemakaian peci.
Sumber: http://yafi20.blogspot.com/2013/07/sejarah-asal-mula-peci-di-indonesia.html#ixzz3APoS6qTw
0 Response to "Sejarah Asal Mula Peci di Indonesia"
Posting Komentar