Dikira Pelihara Tuyul Karena Pekerjaan Tak Jelas
Kamis, 07 Agustus 2014
Add Comment
SUASANA ruang tamu di rumah Arfi’an Fuadi, 28, di Jalan Canden,
Salatiga, Jawa Tengah, masih dipenuhi nuansa Idul Fitri. Jajanan Lebaran
seperti kacang, nastar, dan kue kering memenuhi meja untuk menjamu tamu yang
berkunjung.
---------
M. Salsabyl Ad’n, Salatiga
---------
Di sebelah ruang tamu terdapat ruangan yang lebih kecil. Di
dalamnya ada tiga unit komputer. Rupanya, di ruangan kecil itulah Arfi
–panggilan Arfi’an Fuadi– bersama sang adik M. Arie Kurniawan dan dua
karyawannya mengeksekusi order design engineering dari berbagai negara.
Kiprah dua bersaudara itu di dunia rancang teknik
internasional tak perlu diragukan lagi. Tahun lalu Arie memenangi kompetisi
tiga dimensi (3D) design engineering untuk jet engine bracket (penggantung
mesin jet pesawat) yang diselenggarakan General Electric (GE) Amerika Serikat.
Arie mengalahkan sekitar 700 peserta dari 56 negara.
”Lomba ini membuat alat penggantung mesin jet seringan
mungkin dengan tetap mempertahankan kekuatan angkut mesin jet seberat 9.500
pon. Saya berhasil mengurangi berat dari 2 kilogram lebih menjadi 327 gram
saja. Berkurang 84 persen bobotnya,” ungkap Arie ketika ditemui di rumah
kakaknya, Senin (4/8).
Yang membanggakan, Arie mengalahkan para pakar design
engineering yang tingkat pendidikannya jauh di atas dirinya.
Misalnya, juara kedua diraih seorang PhD dari Swedia yang
bekerja di Swedish Air Force. Sedangkan yang nomor tiga lulusan Oxford
University yang kini bekerja di Airbus. ”Padahal, saya hanya lulusan SMK Teknik
Mekanik Otomotif,” jelas Arie.
Sekilas memang tak masuk akal. Bagaimana bisa seorang lulusan
SMK yang belum pernah mendapatkan materi pendidikan CAD (computer aided design)
mampu mengalahkan doktor dan mahasiswa S-3 yang bekerja di perusahaan pembuat
pesawat? CAD adalah program komputer untuk menggambar suatu produk atau bagian
dari suatu produk.
Rupanya, ilmu utak-atik desain teknik itu diperoleh dan
didalami Arie dan kakaknya, Arfi, secara otodidak. Hampir setiap hari keduanya
melakukan berbagai percobaan menggunakan program di komputernya. Mereka juga
belajar dari referensi-referensi yang berserak di berbagai situs tentang design
engineering.
”Terus terang dulu komputer saja kami tidak punya. Kami harus
belajar komputer di rumah saudara. Lama-lama kami jadi menguasai. Bahkan, para
tetangga yang mau beli komputer, sampai kami yang disuruh ke toko untuk
memilihkan,” kenang Arfi.
Sebelum menjadi profesional di bidang desain teknik, dua
putra keluarga A. Sya’roni itu ternyata harus banting tulang bekerja serabutan
membantu ekonomi keluarga. Arfi yang lulusan SMK Negeri 7 Semarang pada 2005
pernah bekerja sebagai tukang cetak foto, di bengkel sepeda motor, sampai
jualan susu keliling kampung.
Sang adik juga tak jauh berbeda, jadi tukang menurunkan pasir
dari truk sampai tukang cuci motor. ”Kami menyadari, penghasilan orang tua kami
pas-pasan. Mau tidak mau kami harus bekerja apa saja asal halal,” tutur Arfi.
Baru pada 2009 Arfi bisa menyalurkan bakat dan minatnya di
bidang program komputer. Pada 9 Desember tahun itu dia memberanikan diri
mendirikan perusahaan di bidang design engineering. Namanya D-Tech Engineering
Salatiga. Saksi bisu pendirian perusahaan tersebut adalah komputer AMD 3000+.
Komputer itu dibeli dari uang urunan keluarga dan gaji Arfi saat masih bekerja
di PT Pos Indonesia.
”Gaji saya waktu itu sekitar Rp 700 ribu sebagai penjaga
malam kantor pos. Lalu ada sisa uang beasiswa adik dan dibantu bapak, jadilah
saya bisa membeli komputer ini,” kenangnya.
Setelah berdiskusi dengan sang adik, Arfi pun menetapkan
bidang 3D design engineering sebagai fokus garapan mereka. Sebab, dia yakin
bidang itu booming dalam beberapa tahun ke depan. ”Kami pun langsung belajar
secara otodidak aplikasi CAD, perhitungan material dengan FEA (finite element
analysis), dan lain-lain,” jelasnya.
Tak lama kemudian, D-Tech menerima order pertama. Setelah
mencari di situs freelance, mereka mendapat pesanan desain jarum untuk alat
ukur dari pengusaha Jerman. Si pengusaha bersedia membayar USD 10 per set.
Sedangkan Arfi hanya mampu mengerjakan desain tiga set jarum selama dua minggu.
”Kalau sekarang mungkin bisa sepuluh menit jadi. Dulu memang
lama karena kalau mau download atau kirim e-mail harus ke warnet dulu. Modem
kami dulu hanya punya kecepatan 2 kbps. Hanya bisa untuk lihat e-mail.”
Di luar dugaan, garapan D-Tech menuai apresiasi dari si
pemesan. Sampai-sampai si pemesan bersedia menambah USD 5 dari kesepakatan
harga awal. ”Kami sangat senang mendapat apresiasi seperti itu. Dan itulah yang
memotivasi kami untuk terus maju dan berkembang,” tegas Arfi.
Sejak itu order terus mengalir tak pernah sepi. Model desain
yang dipesan pun makin beragam. Mulai kandang sapi yang dirakit tanpa paku yang
dipesan orang Selandia Baru sampai desain pesawat penyebar pupuk yang dipesan
perusahaan Amerika Serikat.
”Pernah ada yang minta desain mobil lama GT40 dengan handling
yang sama. Untuk proyek itu, si pemilik sampai harus membongkar komponen
mobilnya dan difoto satu-satu untuk kami teliti. Jadi, kami yang menentukan
mesin yang harus dibeli, sasisnya model bagaimana dan seterusnya. Hasilnya,
kata si pemesan, 95 persen mirip,” jelasnya.
Selama lima tahun ini, D-Tech telah mengerjakan sedikitnya
150 proyek desain. Tentu saja hasil finansial yang diperoleh pun signifikan.
Mereka bisa membangun rumah orang tuanya serta membeli mobil. Tapi, di sisi
lain, capaian yang cukup mencolok itu sempat mengundang cibiran dan tanda tanya
para tetangga.
”Kami dicurigai memelihara tuyul. Soalnya, pekerjaannya tidak
jelas, hanya di rumah, tapi kok bisa menghasilkan uang banyak. Mereka tidak
tahu pekerjaan dan prestasi yang kami peroleh,” cerita Arfi seraya tertawa.
Sayangnya, dari 150 proyek itu, hanya satu yang dipesan klien
dalam negeri. ”Satu-satunya klien Indonesia adalah dari sebuah perusahaan cat.
Mereka beberapa kali memesan desain mesin pencampur cat,” lanjutnya.
Meski punya segudang pengalaman dan diakui berbagai
perusahaan internasional, Arfi dan Arie masih belum bisa berkiprah di desain
teknik Indonesia. Penyebabnya, mereka hanya berijazah SMK.
”Kalau ditanya apakah tidak ingin membantu perusahaan
nasional, kami tentu mau. Tapi, apakah mereka mau? Di Indonesia kan yang
ditanya pertama kali lulusan apa dan dari universitas mana,” ujarnya.
Stigma ”hanya berijazah SMK” ditambah sistem pendidikan
Indonesia yang dinilai kurang adil itulah yang ikut mengandaskan keinginan Arie
melanjutkan pendidikan ke jenjang S-1 di Teknik Elektro Universitas Diponegoro
(Undip) Semarang. Arie tidak bisa masuk jurusan itu karena hanya lulusan SMK
mekanik otomotif.
”Saya ingin kuliah di jurusan itu karena ingin memperdalam
ilmu elektro. Kalau mesin saya bisa belajar sendiri. Tapi, saya ditolak karena
kata pihak Undip jurusannya tidak sesuai dengan ijazah saya. Padahal, lulusan
SMA yang sebenarnya juga tidak sesuai diterima. Ini kan tidak adil namanya,”
cetus Arie.
Meski ditolak, Arie tidak kecewa. Bersama sang kakak, dia
tetap ingin menunjukkan prestasi yang mengharumkan nama bangsa. Dan itu telah
dibuktikan dengan menjuarai kompetisi design engineering di Amerika yang
diikuti para ahli dari berbagai negara. Selain itu, mereka tak segan-segan
menularkan ilmunya kepada anak-anak muda agar melek teknologi 3D design
engineering.
”Ada beberapa anak SMK yang datang ke kami untuk belajar.
Sekarang ada yang sudah kerja di bidang itu. Ada juga yang bakal ikut kompetisi
Asian Skills Competition sebagai peserta termuda,” jelasnya.
Mereka juga punya keinginan mengembangkan teknologi energi
terbarukan. Salah satunya dengan mengembangkan desain pembangkit listrik tenaga
angin.
”Kami bekerja sama dengan anak-anak SMK untuk mengembangkan
biodiesel dari minyak jelantah. Lalu, Mas Ricky Elson (pembuat mobil listrik
yang dibawa Dahlan Iskan dari Jepang, Red) pernah menghubungi lewat Facebook,
ingin menjalin kerja sama dengan kami. Tentu saja kami terima,” ungkapnya.
Dengan semua upaya itu, mereka punya satu impian, yakni
mengembangkan sumber daya lokal Salatiga untuk menjadikan kota kecil itu pusat
pengembangan manufaktur teknologi kelas dunia. Layaknya Silicon Valley di San
Francisco, Amerika Serikat.
”Kami ingin membuktikan bahwa Indonesia bisa menjadi pusat
industri manufaktur dunia. Terlebih lagi, teknologi 3D printing bakal menjadi
tulang punggung industri masa depan. Itulah kenapa 3D design engineering sangat
penting,” tandasnya. (*/c9/ari)
Sumber : http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=249923#
Sumber : http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=249923#
0 Response to "Dikira Pelihara Tuyul Karena Pekerjaan Tak Jelas"
Posting Komentar